Kemarin tepat tanggal 21 April adalah hari Kartini, hampir diseluruh tempat baik itu sekolahan, atau tempat kerja menyambutnya dengan berbagai perlombaan dan berbusana adat. Hal yang sering dilewatkan, pernahkah kita bertanya, kenapa harus sibuk bersanggul-sanggul ria atau bermake-up hanya untuk sekedar memperingati Hari Kartini. Padahal tujuan RA Kartini sebenarnya bukan seperti itu.
saya menemukan twit yang mengingatkan saya pada artikel di selembar selebaran yang saya dapatkan waktu saya kuliah dulu. setidaknya twit dari Ahmad Gozali sinkron dengan apa yang dulu pernah saya baca.
Twit dari Ahmad Gozali |
Teringat dengan kata-kata "Mina Dzulumaat Ila Nuur" persis sama dengan artikel yang saya baca. Dan secara kebetulan pada hari itu saya menemukan artikel yang dimaksud, tanpa sengaja di kardus buku-buku. Klop sekali bukan? dan saya mau membaginya mencoba share pada kawan-kawan. Artikel itu berjudul.
"Andai Kartini Khatam Mengaji"
saya repost kembali ya, semoga bermanfaat untuk menambah wawasan kita tentang Kartini.
RA. Kartini |
" Andai Kartini Khatam Mengaji (Repost)
Sejarah penggal
waktu yang telah ditinggalkan. Sejarah Hanyalah saksi bisu yang bergantung pada
kacamata manusia untuk membacanya. Sejarah bias berarti beda jika kacamata baca
manusia juga beda. Adalah sebuah keharusan untuk membaca sejarah secara obyektif
berdasarkan fakta. Demikian halnya denga perjuangan Kartini. Benarkah Kartini menginginkan kaum wanita
mengejar kesetaraan kedududkan dengan kaum laki-laki di semua bidang?
Obyektivitas
adalah syarat utama untuk mengkaji sebuah sejarah. Tanpa ada semangat
obyektivitas, sebuah peristiwa sejarah dapat dimaknai dan disalahgunakan sesuai
dengan kepentingan pihak yang bersangkutan. Untuk mendukung sebuah pendapat
atau mewujudkan sebuah tujuan, kisah sejarah bias dipenggal, dihilangkan atau
justru ditambahi penekanan pada bagian-bagian tertentu. Penyusunan sejarah
seperti ini hanya akan mengantarkan masyarakat kepada sebuah kesimpulan yang
salah, bukan kepada pelajaran sebenarnya yang ada di balik kisah kehidupan sang
tokoh.
Demikian halnya
dengan sejarah R.A Kartini. Selama ini dipahami dan dicatat dari perjuangan
Kartini adalah semangat emansipasi untuk menjadikan kaum wanita mempunyai hak
yang sama dan sejajar dengan kaum laki-laki. Sehingga yang terlihat kemudian
adalah wanita Indonesia tergopoh-gopoh untuk menempatkan diri pada
posisi-posisi yang didominasi oleh kaum pria. Kata “Emansipasi” telah bergeser
ke arah Liberal, Gender, Feminisme dan ide-ide penentang terhadap fitrah kaum
wanita yang memang berbeda denganlawan jenisnya.
Menilik kehidupan
seorang tokoh tak lepas dari lingkungan internal dan eksternal yang membentuk
kepribadiannya. Kartini tumbuh dalam 2 suasana dan pemikiran yang saling
bertentangan satu dengan yang lain. Sebagai keturunan ningrat, Kartini tumbuh
di lingkungan yang kuat dengan adat istiadat.
Di satu sisi,
keningratan yang ada padanya, memungkinkan Kartini untuk memiliki teman-teman
dari Belanda yang mengagungkan kebebasan. Dari surat-surat Kartini yang
terhimpun, Nampak bahwa jalinan persahabatan ini telah menyumbangkan sebuah
pemikiran tersendiri bagi perkembangan dirinya. Kartini tumbuh di lingkungan
Jawa yang teguh memegang adat istiadat, di tengah kuatnya dominasi adat,
Kartini berani untuk menentang semua adat itu “Peduli apa aku dengan segala
tata cara itu…, segala peraturan, semua itu bikinan manusia dan menyiksa diriku
saja. Kalau tidak membayangkan bagaimana rumitnya etika di dunia keningratan
Jawa itu… tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan
Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang menentukan
sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan”. (Surat
Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)
Kartini, Kardinah, dan Roekmini |
Tak salah jika Kartini memiliki kesimpulan seperti
itu. Penjajahan Belanda teelah berhasil menamakan rasa rendah diri kepada
masyarakat pribumi. Diskriminasi yang dilakukan Belanda telah mengajarkan bahwa
pribumi atau bangsa Timur adalah rendah dan bangsa Baraat adalah mulia.
Dan Kartini
menyimpulkan bahwa pangkal kemunduran daan rasa rendah diri yang dialami oleh
masyarakat adalah mundur dan minimnya pendidikan yang mereka rasakan. Kaum
pribumi adalah kaum terbelakang dan bodoh. Pendidikan menjadi hak paten bagi
kalangan ningrat dan kaum penjajah.
Titik tolak
perjuangan kartini diawali dengan membenahi pendidikan di kalangan pribumi, tak
terkecuali kaum wanita. Kartini membuat nota yang berjudul ”Berilah Pendidikan
Kepada Bangsa Jawa” kepada pemerintah kolonial. Dalam nota tersebut Kartini
mengajukan kritik dan saran kepada hampir sermua Departemen Pemerintah Hindia
Belanda, kecuali Depaartemen Angkatan Laut (Marine). Kartini merasa perlu untuk
belajar ke Barat. ”Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland
akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang kupilih. (Surat Kartini
kepada Ny. Ovink Ssoer, 1900) Barat telaah menjadi panutan dan kiblat Kaartini
untuk melepaskan diri dari Kungkungan adat .”Pergi ke Eropaa. Itulah
cita-citaku sampai nafasku yang terakhir.” (Surat Kartini kepada Stella 12
Januari1900). Namun cita-cita ini harus kandas di tangan para sahabatnya yang
tak menginginkan Kartini memiliki pemahaman yang lebih maju lagi.
Pergolakan pemikiran setelah mengenal Islam. Sulit bagi Kartini untuk bertahan di
lingkungan yang bertentangan dengan pemikirannya. Ditengtah kuatnya kungkungan
adat dan derasnya serangan pemikiran barat, Kartini mencoba mencari jawaban.
Tahun-tahun
terakhir sebelum wafat, Kartini menemukan jawwaban ataas pertanyaan-pertanyaan
yang bergolaak di dalam pemikirannyaa. Ia mencoba mendalami ajaran yang
dianutnya, yaitu Islam. Ajaran Islam. Ajaran Islam pada awalnya tak mendapat
tempat di benak Kartini. Hal ini dikarenakan peengalaman yang tak mengenakkan
dengan sang Ustadzah. Sang Ustadzah menolak menjelaskan makna ayat yang sedang
diajarkan. ”Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritkan apa? Agama
Islam melarang umatnyaa mendiskusikannya dengan umat agama lain. Laagi pula
agamamuku karena nenek moyangku Islam.
Bagaimana aku
dapat mencintai agamaku, kalau aku tidaak mengerti, tidak boleh memahaminya?
Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di
sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab.
Disini orang
diajar membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir,
pekerrjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya
itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku
harus hafal kata demi kata, tetapi tidaak sepatah kata pun yang kau jelaskan
kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholehpun tidak apa-apa, asalkan jadi
orang yang baik hati, bukan begitu Stella? (Surat Kartini kepada Stella 6
November 1899).
Namun
pertemuannya dengan Kyai haji Mohammad Sholeh bin Umaar, seorang ulama besar
dari Darat, Semarang, telah merubah segalanya. Kartini tertarik pada terjemahan
surat Al-Ffaatihah yang disampaikan sang Kyai. Berikut petikan dialog antara
kartini daan Kyai Sholeh Darat, yang ditulis oleh Nyonya Faadhilah Sholeh, cucu
Kyai Sholeh Darat.
”Kyai,
perkenankan saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu,
namun menyembunyikan ilmunya?” Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan
Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. ”Mengapa Raaden Ajeng bertanya
demikian?” Kyai Sholeh Darat balik bertanya. ”Kyai selama hidupku baru kali ini
aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk Al-Qur’an daalam
bahasa Jawa. Bukannya Al-Qur’an itu justru kitab pimpinan hidup bahagiaa dan
sejahtera bagi manusia?”
RA. Kartini dan Suaminya R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat |
Setelah
pertemuannya dengan Kartini, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menterjemahkan
Al-Qur’aam ke dalam bahasa jawa. Pada haari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh
Darat menghadiahkan terjemahan Al-Qur’an (Faizhur Rohman Fi Tafsiril Qur’an)
jilid pertama terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah saampai dengan
surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islamdalam arti yang sesungguhnya.
Tapi sayang, tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga
belum selesai diterjemahkan seluruhnya Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa.
Andai saaja
Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Al-Qur’an maka tidak
mustahil jika ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua kandungan ajara-Nya.
Kartini sangat berani untuk berbeda dengan tradisi adat yang sudah terlanjur
mapan. Kartini juga memiliki modal ketaatan yang tinggi terhadap ajaran Islam.
Pada mulanya beliau adalah sosok paling keras menentang poligami. Tetapi
setelah mengenal Islam, beliau mau menerimanya.
Upaya Meneladani Kartini Upaya untuk menterjemahkan perjuangan Kartini
oleh kaum wanita sekarang ini nampaknya telah melampaui batas. Petikan surat Kartini
berikut ini menegaskan kesalahan penterrjemahan kaum wanita Indonesia.
”Kami disini
memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, nukan sekali-kali
karena kami menginginkan anakl-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki
daalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar
sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya,
kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi Ibu,
pendidik manusia yang pertama-tama” (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan
Nyonya, 4 Oktober 1902)
Tak ada sepatah
kata pun dalam surat tersebut yang mengajarkan wanita untuk mengejar persamaan
hak, kewajiban, kedudukan, dan peran agar sejajar dengan kaum pria. Kartini
memahami bahwa kebangkitan seorang ditandai oleh kebangkitan cara berfikirnya.
Kartini mengupayakan pengajaran daan pendidikan bagi wanita semata-mata demi
kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai
seorang wanita.
Atas nama
perjuangan Kartini, para wanita justru terjebak pada nilai-nilai liberalisasi
dan ide-ide barat yang justru ditentang oleh sang pahlawan. Perjuangan yang
kini dilakukan oleh para feminis, pembelaan hak-hak wanita sangat jauh dari ruh
perjuangan Kartini. Kartini tidak menuntut persamaan hak dalam seegala bidang.
Kartini hanya menuntut agar kaum wanita diberi hak untuk mendapatkan
pendidikaan yang layak. Tak lebih ari itu.
Kartini bertekad
menjadi seorang muslimah yang baaik dengan memenuhi seruan seruan Surat
Al-Baqoroh ayat 193. Terma Minazh Zhulumaati Ilan Nuur yang berarti dari gelap
kepada cahaya telah mendorongnya utnuk merubah diri dan pemikiran yang salah
kepada ajaran Allah. Tak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa tujuan Kartini
adalah mengajak setiap wanita untuk menjadi muslimah yang memegang teguh ajaran
agamanya."
Artikel ini dipublikasikan oleh "Hizbut Tahrir Indonesia DPC Jember"
Menghargai jasa Kartini itu bukan dgn sibuk Berkebaya dan bersanggul, tapi kita sikapi dengan terus Berkarya dan siap memanggul (tanggung jawab). Seperti Semangat Kartini "Habis gelap terbitlah terang" yg jg berarti "Minazh Zhulumaati Ilan Nuur" sebagai ajakan untuk menyeru pada kebenaran..
Menghargai jasa Kartini itu bukan dgn sibuk Berkebaya dan bersanggul, tapi kita sikapi dengan terus Berkarya dan siap memanggul (tanggung jawab). Seperti Semangat Kartini "Habis gelap terbitlah terang" yg jg berarti "Minazh Zhulumaati Ilan Nuur" sebagai ajakan untuk menyeru pada kebenaran..
Gambar : Diambil dari Pencarian Google.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari Berkomentar. :))