DINAR-DIRHAM YANG MULAI POPULER SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
(Dapat Nasi Goreng Plus Kembali Rp 20 Ribu)
Mengumpulkan keping emas (dinar) dan perak (dirham) sebagai koleksi dan sarana investasi sudah biasa. Namun, sekelompok wirausahawan kini getol memasyarakatkan keping logam mulia itu sebagai alat transaksi layaknya mata uang rupiah.
SOFYAN HENDRA, Jakarta
---
DENYUT kehidupan di Jalan Sungai Landak, kawasan Cilincing, Jakarta Utara, malam itu sepintas sama saja dengan kawasan pinggiran ibu kota lainnya. Bangunan, deretan toko, dan pedagang kaki lima saling berimpitan di sepanjang jalan menuju kawasan industri yang dikelola Kawasan Berikat Nusantara.
Jauh dari ingar-bingar pusat Kota Jakarta, masyarakat di dekat kawasan Pantai Marunda, kampung tempat asal si Pitung, pahlawan Betawi, tersebut kini mengembangkan cara transaksi yang tak biasa. Yakni, menjadikan dirham sebagai alternatif alat pembayaran. Saat ini, sudah sepuluh toko dan warung yang menerima transaksi dengan uang logam dari perak itu.
Layaknya uang rupiah, keping perak tersebut laku untuk membeli nasi goreng, nasi uduk, isi ulang pulsa handphone, martabak, hingga obat-obatan. ''Ada sekitar 30 warga di sini yang biasa menggunakan dirham,'' kata Abdul Haris, 46, seorang pemilik toko obat, kepada Jawa Pos.
Dia merasa senang menerima uang dirham. Alasannya, nilai tukar uang itu lebih stabil. ''Dan mudah ditukarkan lagi,'' ujarnya.
Lain lagi dengan Samil. Penjual nasi goreng berusia 41 tahun tersebut menyatakan bisa menerima jika pelanggannya membayar dengan keping perak. Dia tak punya motivasi muluk-muluk. ''Kalau saya sih yang penting uang, ya saya terima. Yang penting saya tak rugi,'' ungkapnya.
Setelah menyelesaikan order sebungkus nasi goreng itu, Jawa Pos membayar Samil dengan sekeping uang dirham. Dia lalu memberikan kembalian Rp 20 ribu. Nilai tukar satu dirham saat ini setara dengan sekitar Rp 29 ribu.
Lalu, dari mana warga di sana bisa mendapat dirham? Lewat jaringan Wakala (Pusat Dinar Dirham) yang berfungsi sebagai pusat distribusi dinar dan dirham yang kini tersebar di berbagai kota.
Sofyan Aljawi, pemilik Wakala Al-Faqi, penyedia dinar dan dirham di Cilincing, mengungkapkan, dirham mudah diterima di masyarakat setempat. ''Di sini banyak orang Betawi. Mata uang mereka dulu ya perak. Bahkan, hingga sekarang mereka menyebut rupiah dengan uang perak,'' katanya berkelakar.
Sofyan menuturkan, sosialisasi penggunaan mata uang dirham tersebut memang baru dimulai dari kampung si Pitung itu. ''Saya yakin akan semakin banyak yang mau menggunakan dirham. Sebab, dirham sekaligus menjadi sarana menabung,'' ujarnya.
Upaya menggunakan dinar dan dirham sebagai alat pembayaran tidak hanya terbatas di Cilincing. Adalah Jaringan Wirausahawan Pengguna Dinar dan Dirham Nusantara (Jawara) yang kini getol memasyarakatkan penggunaan keping emas dan perak itu layaknya mata uang.
Jaringan tersebut ditopang oleh penyedia penukaran dinar-dirham bernama Wakala Induk Nusantara yang saat ini memiliki 60 cabang yang tersebar di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Cabang lainnya juga ada di Kalimantan, Sumatera, serta Sulawesi.
Namun, Wakala tidak hanya dimaksudkan sebagai tempat penukaran dinar dan dirham (nilai tukar keping logam buatan anak perusahaan PT Aneka Tambang itu bisa diikuti secara online). Mereka juga menyosialisasikan bahwa keping emas dan perak bukan sekadar sarana investasi.
''Itulah yang membedakan kami dengan penyedia dinar dan dirham yang lain. Di sini benar-benar menyediakan aktivitas transaksi dengan dinar maupun dirham,'' jelas Zaim Saidi, direktur Wakala, yang juga pendiri Jawara, saat ditemui di kantonya di Depok, Jawa Barat.
Saat ini, konsumen memang bisa mudah mendapatkan keping dinar dan dirham. Termasuk di sejumlah toko emas. Namun, umumnya hanya digunakan untuk sarana investasi, bukan transaksi. ''Hanya ditimbun. Padahal, prinsip dasar mata uang itu untuk transaksi. Banyak yang mengatasnamakan syariah saat menjual dinar dan dirham. Padahal, itu hanya untuk investasi,'' kata Zaim.
Satu dinar adalah keping emas seberat 4,25 gram atau jika dirupiahkan setara sekitar Rp 1,447 juta. Satu dirham adalah keping perak seberat 2,975 gram atau setara Rp 29.000.
Tekad menjadikan dinar dan dirham sebagai alat bertransaksi membuat Zaim dan sejumlah rekannya menggagas jaringan bisnis terbuka yang menampung para wirausahawan yang mau menerima dinar dan dirham sebagai alat bertransaksi. ''Kini, sudah ada sekitar 200 wirausaha yang bergabung,'' ungkap lulusan IPB dan peraih master public affairs di Department of Government and Public Administration, University of Sydney, Australia, tersebut.
Pebisnis yang bergabung berasal dari beragam bidang. Mulai toko pakaian, jasa katering, biro perjalanan, penyedia peranti lunak, hingga desain grafis. Zaim mengaku tidak bisa memantau nilai transaksi perdagangan di antara anggota jaringan itu. ''Yang jelas, transaksi itu terus berjalan. Sebab, prinsip dasarnya sukarela menggunakan dinar dan dirham,'' ujar ayah lima anak tersebut.
Dia menuturkan, banyak keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan dinar dan dirham sebagai alat transaksi. Sebab, mata uang itu terkenal paling stabil dan bisa melawan ganasnya inflasi. ''Kita ini dipaksa menggunakan rupiah di Indonesia. Lalu, ketika ke Singapura dipaksa menggunakan dolar Singapura,'' ucap Zaim yang juga ketua PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) itu.
Padahal, kata dia, nilai setiap rupiah yang kita pegang akan terus jatuh. ''Tidak dirampok pun, nilai uang yang kita simpan di bank terus berkurang,'' tegas Zaim yang sudah menulis lebih dari sembilan buku tersebut.
Saat ini, kata dia, banyak yang memegang dinar dan dirham karena percaya harga emas akan terus naik. Karena itu, mereka berpotensi memperoleh gain (keuntungan). Konsep itulah yang menjadikan dinar sebagai alat investasi dan komoditas murni.
Menurut Zaim, harga emas terus melambung karena uang kertas tergerus inflasi cukup tinggi. Dia mengilustrasikan, pada 2000, ongkos naik haji hanya Rp 21 juta atau dengan kurs saat itu setara 71 dinar. Saat ini, ongkos menunaikan ibadah haji malah turun jika menggunakan dinar, yakni 24 dinar atau Rp 35 juta. ''Jadi, kalau memegang dinar, justru ongkos berhaji turun. Tapi, kalau dengan rupiah, naiknya sangat tinggi,'' jelasnya.
Dia menegaskan, usahanya memopulerkan penggunaan dinar dan dirham sebagai alat pembayaran bukan ditujukan untuk melawan pemerintah. ''Kami tidak melawan siapa pun. Ini prinsip dasarnya sukarela,'' tegas pria kelahiran 22 November 1962 tersebut.
Dia mengakui, penggunaan dinar dan dirham tidak cocok dengan sistem perbankan. Bahkan dengan bank syariah sekalipun. Sebab, mata uang kertas selalu termakan inflasi, sehingga menuntut adanya suku bunga. Hal itu berbanding terbalik dengan dinar dan dirham yang nilainya justru naik.
Menurut Zaim, tak masalah jika selama ini dinar dan dirham tidak terhubung dengan sistem perbankan. ''Lagi pula, berapa persen sih di antara seluruh penduduk di Indonesia yang mengguankan sistem perbankan?'' ungkapnya.
Dalam sejarah, penggunaan uang kertas memang baru berusia 300 tahun. Bahkan, lebih dari separo umur uang kertas itu dulu masih menggunakan deposit emas sebagai jaminan. Emas itu secara riil disimpan bank sentral. Namun, sejak sistem Bretton Woods yang ditandai lahirnya Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia pada 1944, jaminan riil emas di bank sentral dihapus. Dengan lahirnya sistem baru tersebut, bank sentral bisa mencetak uang tanpa dikaitkan dengan cadangan emas di brankasnya.
Secara ekstrem, Zaim menyebut penggunaan uang kertas sebagai penipuan. ''Kita dipaksa mengakui bahwa selembar kertas bergambar Soekarno-Hatta itu adalah uang seratus ribu rupiah,'' ujarnya.
Penggunaan dinar dan dirham sebagai transaksi, kata dia, juga sama sekali tidak melanggar hukum positif. Sebab, tidak ada maksud untuk melawan pemerintah atau otoritas moneter. Namun, dia dan teman-temannya di Jawara berharap adanya pengakuan dari pemerintah. ''Seperti akupunktur. Dulu tidak diakui oleh ilmu kedokteran, sekarang diakui dan bisa berpraktik di Indonesia,'' ungkapnya. (el)
Dikutip Dari Jawa Pos Edisi 9 Januari 2010
bisa diklik : http://jawapos.co.id/
Note :
Nah ini baru cocok,, stabil.Emas dan Perak gak kayak mata uang yang laenx pada suka naek turun yang notabene bikin perut mules dan kepala gliyeng (pusing). Seandainya Sistem Ekonomi Islam diterapkan Pasti akan berjaya perekonomian kita. Islam bukan sekedar Agama kawan,, tapi Ideologi.Mengatur semua Kehidupan Ummat Manusia,, Agama, Politik, Ekonomi, Pendidikan, Sosbud, dan Lain-lain. Semoga bermanfaat.
(Dapat Nasi Goreng Plus Kembali Rp 20 Ribu)
Mengumpulkan keping emas (dinar) dan perak (dirham) sebagai koleksi dan sarana investasi sudah biasa. Namun, sekelompok wirausahawan kini getol memasyarakatkan keping logam mulia itu sebagai alat transaksi layaknya mata uang rupiah.
SOFYAN HENDRA, Jakarta
---
DENYUT kehidupan di Jalan Sungai Landak, kawasan Cilincing, Jakarta Utara, malam itu sepintas sama saja dengan kawasan pinggiran ibu kota lainnya. Bangunan, deretan toko, dan pedagang kaki lima saling berimpitan di sepanjang jalan menuju kawasan industri yang dikelola Kawasan Berikat Nusantara.
Jauh dari ingar-bingar pusat Kota Jakarta, masyarakat di dekat kawasan Pantai Marunda, kampung tempat asal si Pitung, pahlawan Betawi, tersebut kini mengembangkan cara transaksi yang tak biasa. Yakni, menjadikan dirham sebagai alternatif alat pembayaran. Saat ini, sudah sepuluh toko dan warung yang menerima transaksi dengan uang logam dari perak itu.
Layaknya uang rupiah, keping perak tersebut laku untuk membeli nasi goreng, nasi uduk, isi ulang pulsa handphone, martabak, hingga obat-obatan. ''Ada sekitar 30 warga di sini yang biasa menggunakan dirham,'' kata Abdul Haris, 46, seorang pemilik toko obat, kepada Jawa Pos.
Dia merasa senang menerima uang dirham. Alasannya, nilai tukar uang itu lebih stabil. ''Dan mudah ditukarkan lagi,'' ujarnya.
Lain lagi dengan Samil. Penjual nasi goreng berusia 41 tahun tersebut menyatakan bisa menerima jika pelanggannya membayar dengan keping perak. Dia tak punya motivasi muluk-muluk. ''Kalau saya sih yang penting uang, ya saya terima. Yang penting saya tak rugi,'' ungkapnya.
Setelah menyelesaikan order sebungkus nasi goreng itu, Jawa Pos membayar Samil dengan sekeping uang dirham. Dia lalu memberikan kembalian Rp 20 ribu. Nilai tukar satu dirham saat ini setara dengan sekitar Rp 29 ribu.
Lalu, dari mana warga di sana bisa mendapat dirham? Lewat jaringan Wakala (Pusat Dinar Dirham) yang berfungsi sebagai pusat distribusi dinar dan dirham yang kini tersebar di berbagai kota.
Sofyan Aljawi, pemilik Wakala Al-Faqi, penyedia dinar dan dirham di Cilincing, mengungkapkan, dirham mudah diterima di masyarakat setempat. ''Di sini banyak orang Betawi. Mata uang mereka dulu ya perak. Bahkan, hingga sekarang mereka menyebut rupiah dengan uang perak,'' katanya berkelakar.
Sofyan menuturkan, sosialisasi penggunaan mata uang dirham tersebut memang baru dimulai dari kampung si Pitung itu. ''Saya yakin akan semakin banyak yang mau menggunakan dirham. Sebab, dirham sekaligus menjadi sarana menabung,'' ujarnya.
Upaya menggunakan dinar dan dirham sebagai alat pembayaran tidak hanya terbatas di Cilincing. Adalah Jaringan Wirausahawan Pengguna Dinar dan Dirham Nusantara (Jawara) yang kini getol memasyarakatkan penggunaan keping emas dan perak itu layaknya mata uang.
Jaringan tersebut ditopang oleh penyedia penukaran dinar-dirham bernama Wakala Induk Nusantara yang saat ini memiliki 60 cabang yang tersebar di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Cabang lainnya juga ada di Kalimantan, Sumatera, serta Sulawesi.
Namun, Wakala tidak hanya dimaksudkan sebagai tempat penukaran dinar dan dirham (nilai tukar keping logam buatan anak perusahaan PT Aneka Tambang itu bisa diikuti secara online). Mereka juga menyosialisasikan bahwa keping emas dan perak bukan sekadar sarana investasi.
''Itulah yang membedakan kami dengan penyedia dinar dan dirham yang lain. Di sini benar-benar menyediakan aktivitas transaksi dengan dinar maupun dirham,'' jelas Zaim Saidi, direktur Wakala, yang juga pendiri Jawara, saat ditemui di kantonya di Depok, Jawa Barat.
Saat ini, konsumen memang bisa mudah mendapatkan keping dinar dan dirham. Termasuk di sejumlah toko emas. Namun, umumnya hanya digunakan untuk sarana investasi, bukan transaksi. ''Hanya ditimbun. Padahal, prinsip dasar mata uang itu untuk transaksi. Banyak yang mengatasnamakan syariah saat menjual dinar dan dirham. Padahal, itu hanya untuk investasi,'' kata Zaim.
Satu dinar adalah keping emas seberat 4,25 gram atau jika dirupiahkan setara sekitar Rp 1,447 juta. Satu dirham adalah keping perak seberat 2,975 gram atau setara Rp 29.000.
Tekad menjadikan dinar dan dirham sebagai alat bertransaksi membuat Zaim dan sejumlah rekannya menggagas jaringan bisnis terbuka yang menampung para wirausahawan yang mau menerima dinar dan dirham sebagai alat bertransaksi. ''Kini, sudah ada sekitar 200 wirausaha yang bergabung,'' ungkap lulusan IPB dan peraih master public affairs di Department of Government and Public Administration, University of Sydney, Australia, tersebut.
Pebisnis yang bergabung berasal dari beragam bidang. Mulai toko pakaian, jasa katering, biro perjalanan, penyedia peranti lunak, hingga desain grafis. Zaim mengaku tidak bisa memantau nilai transaksi perdagangan di antara anggota jaringan itu. ''Yang jelas, transaksi itu terus berjalan. Sebab, prinsip dasarnya sukarela menggunakan dinar dan dirham,'' ujar ayah lima anak tersebut.
Dia menuturkan, banyak keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan dinar dan dirham sebagai alat transaksi. Sebab, mata uang itu terkenal paling stabil dan bisa melawan ganasnya inflasi. ''Kita ini dipaksa menggunakan rupiah di Indonesia. Lalu, ketika ke Singapura dipaksa menggunakan dolar Singapura,'' ucap Zaim yang juga ketua PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) itu.
Padahal, kata dia, nilai setiap rupiah yang kita pegang akan terus jatuh. ''Tidak dirampok pun, nilai uang yang kita simpan di bank terus berkurang,'' tegas Zaim yang sudah menulis lebih dari sembilan buku tersebut.
Saat ini, kata dia, banyak yang memegang dinar dan dirham karena percaya harga emas akan terus naik. Karena itu, mereka berpotensi memperoleh gain (keuntungan). Konsep itulah yang menjadikan dinar sebagai alat investasi dan komoditas murni.
Menurut Zaim, harga emas terus melambung karena uang kertas tergerus inflasi cukup tinggi. Dia mengilustrasikan, pada 2000, ongkos naik haji hanya Rp 21 juta atau dengan kurs saat itu setara 71 dinar. Saat ini, ongkos menunaikan ibadah haji malah turun jika menggunakan dinar, yakni 24 dinar atau Rp 35 juta. ''Jadi, kalau memegang dinar, justru ongkos berhaji turun. Tapi, kalau dengan rupiah, naiknya sangat tinggi,'' jelasnya.
Dia menegaskan, usahanya memopulerkan penggunaan dinar dan dirham sebagai alat pembayaran bukan ditujukan untuk melawan pemerintah. ''Kami tidak melawan siapa pun. Ini prinsip dasarnya sukarela,'' tegas pria kelahiran 22 November 1962 tersebut.
Dia mengakui, penggunaan dinar dan dirham tidak cocok dengan sistem perbankan. Bahkan dengan bank syariah sekalipun. Sebab, mata uang kertas selalu termakan inflasi, sehingga menuntut adanya suku bunga. Hal itu berbanding terbalik dengan dinar dan dirham yang nilainya justru naik.
Menurut Zaim, tak masalah jika selama ini dinar dan dirham tidak terhubung dengan sistem perbankan. ''Lagi pula, berapa persen sih di antara seluruh penduduk di Indonesia yang mengguankan sistem perbankan?'' ungkapnya.
Dalam sejarah, penggunaan uang kertas memang baru berusia 300 tahun. Bahkan, lebih dari separo umur uang kertas itu dulu masih menggunakan deposit emas sebagai jaminan. Emas itu secara riil disimpan bank sentral. Namun, sejak sistem Bretton Woods yang ditandai lahirnya Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia pada 1944, jaminan riil emas di bank sentral dihapus. Dengan lahirnya sistem baru tersebut, bank sentral bisa mencetak uang tanpa dikaitkan dengan cadangan emas di brankasnya.
Secara ekstrem, Zaim menyebut penggunaan uang kertas sebagai penipuan. ''Kita dipaksa mengakui bahwa selembar kertas bergambar Soekarno-Hatta itu adalah uang seratus ribu rupiah,'' ujarnya.
Penggunaan dinar dan dirham sebagai transaksi, kata dia, juga sama sekali tidak melanggar hukum positif. Sebab, tidak ada maksud untuk melawan pemerintah atau otoritas moneter. Namun, dia dan teman-temannya di Jawara berharap adanya pengakuan dari pemerintah. ''Seperti akupunktur. Dulu tidak diakui oleh ilmu kedokteran, sekarang diakui dan bisa berpraktik di Indonesia,'' ungkapnya. (el)
Dikutip Dari Jawa Pos Edisi 9 Januari 2010
bisa diklik : http://jawapos.co.id/
Note :
Nah ini baru cocok,, stabil.Emas dan Perak gak kayak mata uang yang laenx pada suka naek turun yang notabene bikin perut mules dan kepala gliyeng (pusing). Seandainya Sistem Ekonomi Islam diterapkan Pasti akan berjaya perekonomian kita. Islam bukan sekedar Agama kawan,, tapi Ideologi.Mengatur semua Kehidupan Ummat Manusia,, Agama, Politik, Ekonomi, Pendidikan, Sosbud, dan Lain-lain. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari Berkomentar. :))